Dibalik Skandal Rp. 349 T
Redaktur: Yoshi
Oleh; Noval Prasetyo (Alumni Magister Ilmu Politik Universitas Andalas)
Sebenarnya, apa yang mendasari Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengungkap suspicious transaction report – laporan transaksi mencurigakan sebesar Rp. 349 T yang berada di Kementerian Keuangan (Kemenkeu)? Pasalnya, laporan transaksi mencurigakan/STR hanya boleh diungkap ke Presiden atau kepada DPR RI dengan motif yang jelas, yakni agar tidak menimbulkan kegaduhan. Namun, langkah berbeda justru diambil Mahfud MD yang juga diamanahi Ketua Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (KKNPP TPPU) dengan membeberkan skandal keuangan tersebut ke hadapan publik.
Otomatis, institusi yang sudah lama dipimpin Sri Mulyani semakin menjadi sorotan, lantaran sebelumnya juga sudah gempar akibat kasus penganiayaan yang dilakukan MDS. Ternyata diketahui bahwa MDS adalah anak dari salah seorang pejabat Eselon III di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kemenkeu, dengan inisial RAT. Publik menyoroti MDS yang berani melakukan penganiayaan terhadap orang lain, karena didukung oleh faktor latar belakang orang tuanya yang pejabat dan (dianggap) memiliki kekuasaan.
Supit Urang: Strategi Mahfud MD Menjepit Sri Mulyani
Secara berturut-turut kemudian akhirnya terkuak jikalau institusi yang dianggap Sultan dari seluruh Kementerian tersebut, diinternalnya memiliki ‘borok’ yang dibuktikan dengan pemberhentian sejumlah oknum dari jabatan mereka akibat ulah flexing (pamer gaya hidup mewah) yang dilakukan orang-orang terdekatnya. Kemudian, pengungkapan skandal Rp. 349 T oleh Mahfud MD jelas menghancurkan citra Kemenkeu sebagai institusi dan Sri Mulyani selaku pemimpin.
Banyak pihak yang beranggapan bahwa saat ini Menkopolhukam Mahfud MD sedang berupaya menjepit Menkeu Sri Mulyani, ibarat seekor udang yang sedang menjepit sasarannya. Sembari menunggu apakah salah satu skandal keuangan terbesar di republik ini akan terselesaikan, ada baiknya kita mencoba menelisik beberapa fakta lain yang dianggap memiliki kaitan secara politis, dengan skandal yang tengah bergulir seumpama bola panas dan terkesan dihindari banyak pihak tersebut.
Istilah supit urang merupakan salah satu gelar (strategi) perang yang digunakan pada zaman kerajaan-kerajaan dahulu, namun masih relevan digunakan dalam konteks perang juga perpolitikan modern terkhusus di Indonesia. Supit urang secara harfiah memiliki arti memasang jebakan burung yang bermakna (untuk) mengelabui atau menjebak, katakanlah suatu sasaran dikarenakan sasaran memiliki kemampuan atau kekuatan untuk menyadari dan menghindar.